Selasa, 08 Februari 2011

Seputih Edelweis


Nah, ini juga cerpen jaman bahula dulu. Waktu jaman SMA juga, satu file ama cerpen sebelumnya. Ya biasalah kalo kata-katanya masih norak dan temanya masih tentang all about Love (C.I.N.T.A) kayak judul laguu ajaa...Ini merupakan karangan fiksi dan maaf bila nama anda mungkin mirip..hahahaaay

Sudah lima hari ini, tiap malam aku selalu mendengar tangis seorang gadis dari sebelah kamarku. Setiap aku lewat selalu saja terdengar suara tangisan. Di rumah sakit ini, memang semua orang sedang sakit. Tapi kenapa gadis itu selalu menangis tiap malamnya? Sudah seminggu ini dia dirawat disana. Dia menempati kamar nomor 222 sedang aku sendiri menempati kamar persis di sebelahnya yaitu 221.

Aku ada di rumah sakit ini sudah dua bulan. Aku dirawat di sini karena aku sakit kanker hati stadium lanjut. Aku lebih memilih untuk menghabiskan usiaku dengan berada di rumah sakit ini. Karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Ayah dan ibuku meninggal saat aku berusia lima tahun karena kecelakaan. Sepeninggal orang tuaku, aku dirawat oleh kakekku yang konglomerat itu. Tapi sudah setahun yang lalu kakekku meninggal.

Jadi aku putuskan untuk tinggal di sini saja, dari pada aku harus sendirian di rumah sebesar itu. Karena di sini ada orang-orang yang selalu memperhatikan aku, apalagi suster disini cantik-cantik. Nggak mungkin bosen.

Karena merasa kasihan, hari itu aku mengiriminya bunga edelweis lewat seorang suster.

“Pagi mbak Selo?” sapa suster itu ketika masuk ke kamar gadis itu.

“Pagi suster,” jawabnya ramah.

“Ini ada titipan buat mbak. Saya jadi ngiri deh mbak,” kata suster itu sambil memberikan bunga edelweis itu kepada Selomitha. Gadis yang selalu menangis tiap malam itu dan dirawat disebelah kamarku adalah Selomitha.

Selomitha menerima bunga edelweis itu sambil berkata,”Kenapa suster ngiri? Memang siapa yang mengirim bunga ini? Apa nggak salah kirim?” tanya Selo.

“Asal mbak tahu aja ya, yang ngirim tuh mas Damar. Pasien di sebelah kamar mbak Selo. Dia itu pasien kesayangan suster-suster disini, ya karena mukanya yang ganteng juga sih,” jawab suster itu tersipu malu.

“Damar? Tapi saya nggak kenal sama yang namanya Damar. Kenapa dia mengirimi saya bunga?” tanya Selo lagi.

“Saya nggak tahu pasti. Tapi kata mas Damar tolong berikan ini ke kamar 222. Mbak Selo beruntung banget,” jawab suster itu.

Ada sepucuk kertas yang di selipkan diantara bunga edelweis itu. Selomitha lalu membukanya dan membaca dalam hati. Tulisan itu berbunyi:

Jangan nangis lagi ya.....

Selomitha jadi penasaran dengan orang yang telah mengiriminya bunga. Lalu siang itu, Selo mengetuk pintu kamar nomor 221 itu. Seorang cowok keluar dari kamar itu. Memang benar apa yang dibilang sama suster tadi kalau cowok yang namanya Damar ini adalah makhluk yang ganteng.

“Gimana? Udah terima bunganya?” tanyaku tak segan-segan.

“Udah sih, tapi maaf aku nggak kenal sama kamu,” jawab Selo.

“Kalo gitu, sekarang kita kenalan dulu. Aku Damar, cowok paling ganteng di rumah sakit ini. Aku juga pasien kesayangan semua suster,” kataku pede.

Dia malah tertawa mendengar ucapanku barusan. Mungkin dipikirnya aku ini sedang bercanda. Sangat berbeda sekali. Wajahnya sangat berbeda sekali saat ini. Dia bisa tertawa seperti ini tapi nggak menyangka kalau tiap malam dia selalu menangis.

“Kenapa malah ketawa?” tanyaku.

“Nggak kok. Aku cuma belum pernah ketemu sama cowok yang bisa ngomong sepede ini. Lucu aja,” jawabnya.

Kamu Selomitha kan?” tanyaku lagi.

“Iya. Kamu kok tahu sih? Dari mana kamu tahu namaku?” tanya Selo penasaran.

“Aku kan tetangga sebelah kamarmu, jadi aku tahu,” jawabku singkat.

Kami sempat mengobrol beberapa lama. Saat seorang suster memanggilku untuk pergi ke ruang dokter, aku dengan berat hati harus pergi meninggalkan Selo.

“Damar!” panggil Selo. Dan aku menoleh ke arahnya.

“Terima kasih bunganya,” jawabnya. Aku tersenyum simpul dan kembali melangkah ke ruang dokter. Aku segera duduk setelah masuk ke ruangan dokter Helmi. Dia dokter keluargaku, dia tahu seluk-beluk mengenai kesehatan keluargaku.

“Kamu kelihatan sangat sehat hari ini dan lebih ceria dari biasanya. Ya, baguslah. Saya kira kamu akan merasa bosan tinggal di sini,” kata Dokter Helmi.

“Nggak mungkin dok kalo saya bosan. Apalagi sekarang saya punya teman baru,” kataku.

“Teman baru atau mangsa baru?” goda Dokter Helmi.

“Dokter bisa aja. Emangnya saya ini buaya, mau cari mangsa?” jawabku.

“Kamu kan memang buaya. Buaya darat, iya kan? Sudah berapa banyak suster yang terbius sama rayuan kamu?” kata dokter lagi.

Aku tertawa dan Dokter Helmipun ikut tertawa. Kami memang selalu seperti ini bila bertemu. Hubungan kami sangat dekat, aku menganggap Dokter Helmi sudah seperti keluarga sendiri.

“Ehm.....pasien disebelah kamar saya itu sakit apa ya dok?” tanyaku mencoba.

“Oh, Selomitha? Dia sakit jantung. Dia harus segera dioperasi. Tapi sampai sekarang belum ada pendonor jantung yang mau mendonorkan jantungnya. Memangnya ada apa?”

“Oh, saya tahu, itu kan yang tadi kamu sebut dengan teman baru?” tanya Dokter Helmi. Aku hanya mengangguk pelan.

Kasihan juga gadis itu. Dia bisa mati kapan saja bila jantungnya kumat. Pantas, kalau dia selalu menangis tiap malam. Dalam hitungan minggu, aku bisa dekat dengan gadis itu. Aku memang bisa dekat dengan siapa saja kalau aku mau. Kami bercerita banyak hal, mulai dari makanan favorit sampai kebiasaan buruk yang sering kami lakukan.

Dia selalu kelihatan ceria, apalagi senyumnya yang selalu membuat orang bahagia bila disampingnya. Tapi nggak nyangka, kalau gadis sebaik itu harus sakit jantung.

“Damar, boleh tahu nggak, kenapa dulu kamu memberiku bunga edelweis?” tanya Selo kemudian.

“Kata orang, bunga edelweis itu bunga abadi. Dia bisa tumbuh dan tetap berbunga walaupun dia hidup di pegunungan yang dingin. Aku mau kamu juga begitu. Jangan pernah menyerah walaupun belum ada pendonor jantung buat kamu,” jawabku.

“Apalagi, waktu itu aku tahu kalau setiap malam pasti kamu menangis sendirian di kamar,” tambahku.

Dia tersenyum mendengar jawabanku.”Makasih ya,” katanya kemudian.

“Tahu nggak waktu pertama kali aku denger tangisan kamu?” tanyaku.

Selomitha hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.

“Waktu pertama kali denger tangisan kamu, aku takut banget sampai bulu kudukku berdiri. Aku pikir, ada kuntilanak lagi nangis, tapi ternyata itu suara kamu,” kataku.

Kan serem, masak jam 12 malam ada suara orang nangis, ini kan rumah sakit. Aku kira hantunya pada gentayangan,” tambahku lagi.

Selo malah tertawa mendengar jawabanku barusan.”Kok malah ketawa sih? Kamu itu udah bikin aku takut. Aku kira kamar yang ada disebelahku itu angker. Masak tiap malam ada suara orang nangis sih,” kataku.

“Abisnya kamu lucu sih! Masak udah gede masih takut sama yang namanya hantu? Kamu kan cowok,” kata Selo sambil menahan tawa.

Senang juga bisa melihat Selo tertawa. Biasanya dia selalu menangis. Kalau tahu umurnya nggak panjang, sedih juga rasanya.

“Aku boleh tahu nggak, kenapa kamu selalu menangis tiap malam?” tanyaku mencoba.

“Sebenernya aku nggak takut kalau suatu saat nanti Tuhan akan mencabut nyawaku. Yang aku takutkan adalah bagaimana perasaan orang-orang yang aku cintai, kalau sampai tahu aku akan pergi meninggalkan mereka.”

“Apalagi perasaan orang yang telah membesarkanku dan mencurahkan kasih sayang untukku. Padahal aku belum bisa memberikan sesuatu yang bisa membalas kasih sayang mereka. Ya....tapi aku bisa apa? Aku cuma bisa pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan,” tambah Selo.

Itu memang benar. Kematian merupakan takdir yang tak terelakkan bagi semua orang. Semua yang hidup pasti akan mati dan semua yang bernyawa pasti akan hilang, kembali kepada sang Pencipta. Mungkin saat malaikat kematian mulai tersenyum pada kita, saat itulah segala sesuatu menjadi tidak berarti.

Aku ingin sekali membantu Selo, tapi bagaimana? Dia masih mempunyai orang-orang yang dicintainya. Pasti mereka akan sangat merasa sedih kalau sampai kehilangan Selo. Siang itu aku pergi ke kamar Selo dan melihatnya sedang membaca buku.

“Hai, lagi ngapain nih?” tanyaku.

“Lagi baca buku. Mm....tahu nggak apa yang paling aku inginkan seandainya nanti aku bisa sembuh?” tanya Selo padaku.

Aku cuma menggelengkan kepala.

“Aku kepingin banget bisa sekolah hukum di Leiden, London. Ya....itu cuma keinginanku doang. Keinginan yang nggak mungkin aku gapai,” katanya getir kemudian.

Kasihan, dia punya keinginan mau melanjutkan sekolahnya ke sekolah hukum di Leiden London.

“Kamu pasti bisa kok ke sana,” kataku.

Semalaman aku memikirkannya. Akhirnya aku mengambil keputusan yang mungkin akan membuat dokter Helmi marah. Tapi hanya ini satu-satunya yang bisa aku lakukan untuknya. Pagi itu aku pergi ke kamar Selo, seperti biasa ingin mengajaknya jalan-jalan sambil mengobrol. Tapi, aku nggak menemukan Selo di kamarnya. Aku kaget dan bertanya pada salah satu suster.

“Oh, mbak Selo? Dia sekarang ada di kamar ICU. Semalam, jantungnya kambuh dan sempat berhenti.”

“Hah?! Sempat berhenti? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?!” tanyaku tak sabar.

“Sekarang masih ada di ICU. Masih belum siuman dan dokter Helmi bilang dia harus bisa melewati masa kritisnya dulu sebelum siuman,” jelas suster itu.

“Kenapa mas Dam..........”

Belum sempat suster itu melanjutkan perkataannya, aku segera berlari ke ruang ICU. Ayo Selo, kamu pasti bisa bertahan. Aku cuma bisa melihatnya dari luar. Kasihan sekali wajah Selo kelihatan pucat, matanya yang indah itu masih terpejam. Rasa cemasku mengalahkan rasa sakitku. Sampai-sampai aku berjongkok karena menahan rasa sakitku. Rasanya hatiku seperti dibelah-belah. Sakit sekali.

“Damar? Sedang apa kamu di sini?” tanya dokter Helmi cemas ketika melihatku berjongkok menahan sakit.

“Terasa sakit lagi ya? Ayo, aku bantu bangun. Pasti hari ini kamu tidak meminum obatmu kan?” kata dokter Helmi sambil membantuku berdiri.

“Saya, mau bicara dok,” kataku tersengal sambil menahan sakit yang begitu luar biasa.

Dokter Helmi memapahku sampai ruang kerjanya.”Ada apa? Apa yang mau kamu bicarakan Damar?” tanyanya kemudian.

“Saya ingin mendonorkan jantung saya buat Selomitha,” jawabku.

“Apaa??!!!” kata dokter Helmi kaget dan terbangun dari kursi duduknya.

“Apa kamu sudah gila, Damar?” katanya.

“Kakek kamu menitipkan kamu untuk dirawat di sini dan bukannya untuk mendonorkan jantung!!” tambah dokter Helmi berang.

“Kalau bukan saya yang bisa membantunya, lalu siapa lagi dok?” kataku.

“Dengar Damar, waktu kamu tinggal dua bulan lagi, dua bulan!! Kamu harusnya bisa memanfaatkan waktu itu! Jangan main-main Damar. Sekarang bukan waktunya untuk bercanda!!”

“Tapi dia lebih membutuhkan dari pada saya dokter. Dia bertahan hidup untuk orang lain, untuk orang-orang yang dia cintai. Tapi saya, saya hanya bertahan hidup untuk diri saya sendiri dokter. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sedangkan dia? Terbayangkan bagi dokter kalau hal itu terjadi pada dokter?” jelasku.

“Saya mau kalau suatu saat nanti saya pergi, orang lain bisa terus mengenang saya. Bukan karena saya tercatat sebagai pasien di sini, tapi karena sesuatu yang berharga yang pernah saya berikan. Mungkin kalau dia selamat, dia akan punya umur lebih dari 50 tahun, dan saya hanya menyumbangkan umur saya yang hanya dua bulan ini. Itu bukan apa-apa dokter. Tolong, dokter bisa mengerti keputusan saya,” tambahku.

“Dokter nggak pernah tahu kan? Kalau selama ini dia selalu menangis tiap malam karena merasa kecewa tidak bisa membahagiakan orang-orang yang dia cintai. Malahan dia harus bisa menerima kalau dia akan pergi meninggalkan mereka. Setiap orang ingin memberikan yang terbaik bagi orang lain. Dan inilah hal yang terbaik buat saya dok. Saya mohon.”

Dokter Helmi hanya terdiam. Lalu dia duduk lemas di kursinya kembali.

“Katakan satu alasan kenapa kamu harus melakukan hal itu?” tanya dokter Helmi kemudian.

“Karena, saya ingin dia bisa terus hidup. Karena bagi saya, dia adalah bunga edelweis yang saya suka,” jawabku mantap.

Dokter Helmi mengendorkan dasinya, wajahnya lemas, dan dahinya berkeringat. Aku tahu kalau dokter Helmi sulit untuk mengambil keputusan.

“Baiklah,” jawabnya singkat.

Keceriaan terpancar dari wajah pucatku. Hanya seucap kata itu yang selama ini aku nantikan.

“Terima kasih dok. Boleh kan sekarang saya menemui Selo untuk yang terakhir kali?” tanyaku kemudian. Dokter Helmi mengangguk lemas sambil berkata,”Masuklah, itu yang dia inginkan.”

Aku bangkit dari kursi dan menuju pintu, tapi Dokter Helmi memanggilku kemudian,”Damar,” katanya. Aku menoleh kearahnya. Dokter Helmi menyambar tubuhku dan memelukku.

“Kamu sangat mirip ayahmu,” katanya. Aku hanya tersenyum simpul. Dan kemudian bergegas ke kamar Selo.

Aku duduk disamping ranjang Selo sambil menggenggam erat tangan Selo.

“Selo, aku janji setelah ini kamu nggak akan sedih lagi, karena kamu akan hidup. Kamu akan bisa kuliah di Leiden, kamu juga bisa jalan-jalan sesuka hati kamu, kamu juga nggak perlu menangis tiap malam,” bisikku ke telinga Selo.

“Selo, kamu harus bisa bertahan. Karena aku akan memberikan sebagian jiwaku untuk membantumu tetap hidup. Tapi kamu jangan sedih seandainya nanti kamu nggak bisa lagi bertemu denganku,” kataku lagi. Tanpa sadar, air mataku mengalir butir demi butir.

“Aku nggak pernah cerita sama kamu kalau aku ini sakit kanker hati, dan waktuku yang tersisa tinggal dua bulan. Dua bulanku itu adalah waktu yang sangat berarti, tapi aku rela memberikannya untukmu. Karena kamu lebih berarti dari pada dua bulanku itu,” kataku tersengal. Aku mengusap air mataku dengan punggung tangan.

“Karena itu, kamu harus bisa terus hidup. Ingatlah bunga edelweis. Kamu akan sekuat dan setegar itu. Selo, ini terakhir kalinya aku bertemu denganmu. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau selama ini aku sangat menyayangimu melebihi apapun,” kataku untuk yang terakhir kalinya.

Tiba-tiba air mata Selo bergulir dari matanya yang masih terus terpejam. Sepertinya dia tahu dan mendengar semua yang telah aku katakan. Selamat tinggal Selo........

Setelah tiga bulan berlalu, akhirnya Selomitha kembali lagi ketempat itu. Tempat dimana untuk yang pertama kalinya kami bertemu. Tapi sekarang dia tidak akan pernah menemukanku lagi. Selo berjalan sedih di koridor yang dulu sering kami lewati setelah jalan-jalan sore. Dia bertemu dengan Dokter Helmi.

“Em....tunggu dokter!” seru Selo. Dokter Helmi berhenti dan segera mengenali bahwa itu adalah Selomitha.

Kamu Selo bukan?” tanya dokter Helmi.

“Iya. Dokter saya mau tahu, sebenarnya siapa yang sudah mendonorkan jantung buat saya? Lalu apa dokter tahu dimana Damar sekarang dok?”

“Sebenarnya saya nggak mau mengatakan ini karena Damar sudah melarangnya. Tapi demi kamu, saya akan katakan,” kata dokter.

“Sebenarnya ada apa dokter?” tanya Selo bingung.

“Orang yang telah berbaik hati mendonorkan jantungnya untuk kamu dan telah mengorbankan sebagian hidupnya adalah.......”

“Siapa dokter? Jangan membuat saya penasaran,” kata Selo tak sabar.

“Dialah orang yang selama ini selalu menghibur kamu, orang yang memberikan kamu bunga edelweis ini,” ucap dokter Helmi.

Bagaikan tersambar petir. Selo begitu terkejut. Rasanya seluruh tubuhnya lemas seketika. Tidak bisa dipercaya, jantung yang berdenyut ini, jantung yang telah memberikan kehidupan baru ini adalah jantung Damar?! Selo terduduk lemas di lantai. Menangis kemudian. Dokter Helmi menyerahkan bunga edelweis itu kepada Selo.

“Ini titipan dari Damar. Dia ingin kamu tidak menangis lagi. Damar menyerahkan sebagian dari harta warisannya untuk kebutuhan rumah sakit ini, lalu sebagian lagi untuk panti asuhan Cinta Kami, dan dia juga memberikan sebagian lagi untuk kamu,” kata dokter Helmi sambil menyerahkan bunga itu.

“Oh, iya ada satu lagi yang tertinggal. Dia juga memberikan kamu ini,” kata dokter Helmi sambil memberikan selebaran kertas.

Ternyata selebaran kertas itu adalah beasiswa untuk masuk ke sekolah hukum Leiden, London. Selo semakin sedih, Damar telah memberikannya yang terbaik, tapi bagaimana Selo membalasnya?

Seribu ucapan terima kasih tidak akan cukup untuk menggantikan semua kebaikan kamu, ucap Selo dalam hati. Kebaikan hati kamu menyimbulkan bunga edelweis yang putih, terima kasih Damar..............katanya.

...SELESAI...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar