Selasa, 08 Februari 2011

Maaf Ibundaku Sayang......

Well..well..well...ini juga cerpen jaman bahula. Masih jaman SMA dulu juga sama seperti postingan sebelumnya. Cerpen jaman SMP aku tulis dibuku, soalnya jaman itu belon kenal komputer. Mau nulis dikomputer atau ngetik masih males banget. Nah di cerpenku kali ini kemungkinan ada beberapa kalimat atau kata yang agak sensitif untuk diliat atau dibaca, saya mohon maaf. Tapi bukan maksud saya untuk menerbitkan umpatan, karena ini merupakan bagian dari cerita dan pemikiran saya bila seandainya saya berada diposisi yang sama...nah selamat membaca...

Sedih rasanya bila teringat masa laluku yang kelam. Tidak satupun orang yang menghormati aku, bahkan mereka tak segan untuk memakiku ketika aku melewati mereka. Karena itu, aku lebih memilih untuk mengubur semua kenangan buruk masa laluku. Tapi, entah kenapa, setiap malam aku selalu teringat. Kalau aku mengingatnya kembali, itu cuma akan membuat panas hatiku, membuat perih nuraniku. Aku bersumpah dalam hati, kalau aku tidak akan memaafkan orang yang sudah membuat hidupku menderita. Sangat menjijikkan, sangat kotor, bahkan lebih hina dari pada binatang hina manapun!

Walaupun orang itu yang telah melahirkan aku kedunia ini, aku tidak akan pernah mau menerimanya kembali dalam kehidupanku! Aku tidak peduli kalau aku dibilang anak durhaka, atau persetan dengan semua itu. Cukup sudah semua derita yang dulu kujalani. Walaupun seribu maaf terucap dari bibirnya, itu tidak akan membuat hatiku gentar untuk mau memaafkannya. Bahkan bila dia menangis darah dihadapanku, itu tidak akan membuat aku mau memaafkannya. Susah payah aku mengangkat martabatku sampai menjadi seperti sekarang ini.

Dan tidak akan aku biarkan, orang-orang tahu bahwa seorang pengacara bernama Haninta Restariani adalah anak seorang pelacur hina. Ya, itu Haninta yang dulu adalah anak seorang pelacur rendahan, tapi kini, Haninta adalah seorang pengacara kondang kota ini. Kusibakkan semua masa laluku yang kelam, dan menepis semua ketakutan yang ada di dalam diriku.

Anak Pelacur! Anak Pelacur! Anak Pelacur!” kata-kata itu masih terngiang di telingaku sewaktu semua anak-anak mencemoohku dan mereka tak segan meludahiku karena terlalu jijik.

Dua tetes air mataku berguliran di pipiku. Kenapa sampai sekarang aku tidak bisa lepas dari bayang-bayang masa laluku yang kelam? Kenapa aku dulu harus ditakdirkan terlahir dari rahim seorang pekcum? Sekalipun, aku belum pernah melihat ayahku yang sebenarnya. Dan mungkin ibu akan bingung juga bila aku bertanya seperti itu. Apakah orang kaya itu, atau orang yang berkumis tipis itu, atau malah tukang becak yang sering memberi tumpangan ibu? Atau......

Entahlah, yang mana. Terlalu banyak lelaki yang pernah tidur dengannya. Bingung siapa sebenarnya aku ini? Sudahlah, toh sekarang adalah sekarang, dulu adalah masa lalu yang kelam.

Nin, kamu kenapa? Inget itu lagi ya?” tanya Liza teman baikku.

Aku segera menghapus butiran air mataku dengan punggung tanganku,”Eh, kamu Liz, udah lama disitu ya?” tanyaku kemudian.

Liza menaruh tasnya dan menghampiriku,”Nggak kok. Aku baru aja nyampe rumahmu. Tadi waktu pulang kan jalannya ngelewatin rumah kamu, ya aku mampir,” katanya sambil duduk dikursi sampingku.

Satu-satunya teman yang bisa aku percaya sekarang adalah Liza. Dia teman kuliahku dulu, dan sekarang dia sudah bekerja jadi sekretaris disalah satu perusahan garmen kota ini. Dia sering sekali menyempatkan datang kerumahku untuk sekedar mampir sembari ngobrol-ngobrol mengenai banyak hal.

“Kamu nggak apa-apa kan Nin? Jangan inget-inget lagi. Itu kan masa lalu yang kelam,” kata Liza sedikit khawatir melihat mukaku yang sembam.

“Aku nggak apa-apa kok. Nggak tahu kenapa, tapi belakangan ini aku jadi keinget terus ya Liz, aku jadi takut,” kataku.

“Mungkin, Tuhan menginginkan kamu mengingat seseorang, bukan kejadiannya,” jawab Liza agak ragu.

Mungkin yang dimaksudkan Liza dengan seseorang itu adalah ibuku. Sudah belasan tahun aku tidak bersua lagi, bahkan kalau bisa aku tidak ingin melihatnya lagi. Hanya dua tahun kemarin, aku bertemu denganya dijalan. Aku dan Liza sedang berhenti dilampu merah saat seorang pengemis tua mengulurkan tangannya untuk meminta uang.

Keadaannya begitu lusuh, begitu kumal, dan begitu kotor, mungkin itu yang seharusnya diterimanya sejak dulu.

Nin, apa kamu nggak kasihan sama ibu kamu? Apa kamu nggak lihat keadaannya waktu itu?” kata Liza kemudian.

“Hah? Kasihan kamu bilang?!” pekikku heran.

“Apa perlu seorang wanita jalang macam dia kita kasihani? Memang sudah seharusnya dia ada dijalan, seperti seonggok sampah yang tidak ada artinya!” kataku mulai marah.

Nin, tapi dia kan.....”

“Seharusnya kamu ngerti gimana dulu aku diperlakukan oleh dia. Bagaimana sakitnya hatiku saat orang-orang mengolokku, saat aku ditendang kesana-kesini, saat aku diludahi, saat aku dicaci-maki, sedangkan dia.....” kataku sambil menunjuk entah kearah mana ibuku berada.

“Sedangkan dia, enak-enakan dengan tamu-tamu hidung belangnya, bergumun di ranjang kemaksiatan, menarikan tarian-tarian setan, sedangkan aku kesepian dirumah,” tambahku.

Liza terdiam, dia mengerti betul bagaimana kalau aku sedang marah.

“Nggak! Aku nggak terima! Aku benar-benar nggak terima ini semua terjadi padaku! Kenapa dulu waktu aku bilang berhenti, dia tidak menanggapinya dan malah menamparku, dan bilang kalau aku ini masih bau kencur? Kenapa dulu dia nggak pernah sadar akan apa yang selama ini dia perbuat?! Kenapa?!!” raungku sambil melempar apa saja yang ada didepanku.

Nin, tenang! Kenapa kamu jadi larut kemasa lalumu?”

Aku terduduk lemas disofa.”Huh, apa dan siapa yang seharusnya dikasihani?” dengusku.

“Memang dia tidak merasa apa-apa. Tapi semua olokan, caci-maki, dan hinaan itu dilancarkan oleh semua orang padaku, hanya padaku!!” kataku keras.

Nin, dia memang salah, dan mungkin dia bukan figure yang baik bagi seorang ibu, tapi setidaknya, dia yang melahirkanmu, dia yang mempertaruhkan sebagian nyawanya hanya untuk melahirkan kamu. Kalau ibumu mau, pasti sudah sejak awal beliau menggugurkan kandunganya, tapi nyatanya...??” jelas Liza.

Liz, ibuku hanya seorang pelacur murahan, dari mana uang untuk menggugurkan kandungannya?” kilahku tak mau kalah.

“Dulu, dia tidak mau tahu bagaimana keadaanku, saat aku membutuhkannya malam hari, dia asyik dengan tamu-tamu biadab itu, saat aku kesusahan mengerjakan semua PRku, dia asyik menari dan menghibur binatang-binatang buas itu!”

Susah payah aku mengangkat derajatku sampai seperti sekarang ini. Ini semua hasil jerih payahku, ini semua adalah titihan air mata yang tiap malam aku keluarkan, memohon supaya Tuhan mau membuka mata ibuku dan mengembalikannya kembali ke jalan kebenaran, ini adalah perjuanganku! Aku adalah Haninta yang dulu adalah anak seorang pelacur, yang sekarang bisa menjadi pengacara sukses,” kataku.

“Aku ingin seperti anak-anak lain, membawa piagam keberhasilanku, menciumku ketika aku mendapatkan penghargaan atau juara, dan menangis bahagia tatkala aku mendapat gaji pertamaku. Aku ingin semua itu Liz! Aku iri dengan semua anak lain!”

“Aku ngerti kok Nin, ngerti banget bagaimana sakitnya hati kamu sekarang. Aku cuma mau memberi tahu kamu kalau orang seperti aku ini, orang yang nggak pernah tahu rupa ayah atau ibuku. Aku cuma dibesarkan dan diasuh dipanti asuhan. Menerima kasih dari orang lain. Kasih yang sesungguhnya harus aku dapatkan dari salah satu orang tuaku nggak pernah kesampaian. Aku cuma bisa berkhayal suatu saat nanti ada ibu peri baik hati yang mau memberiku seorang mama.”

“Mungkin sangat menyenangkan bisa memanggil ibu kita dengan kata mama dan memeluknya dengan manja, menyentuh wajahnya dengan jemari mungil kita, dan mendapat belaian kasih darinya. Seandainya aku bisa, iya seandainya aku bisa Nin,” kata Liza sedih.

Kami berdua diam sejenak, seolah memikirkan satu sama lain nasib kami. Lalu aku menghampiri Liza dan memelukknya. Aku sangat menyayangi Liza sama halnya seperti saudara kandungku. Mungkin karena kami punya nasib yang mirip. Maaf Liz, hatiku sudah terlanjur sakit, jadi aku tidak mudah memaafkan kesalahannya, gumamku dalam hati.

“Mm....kayaknya udah sore banget nih, aku pulang dulu ya. Nin, tolong deh kamu pikirin lagi apa yang tadi udah aku omongin . Karena aku ngomong gitu bukan semata-mata hanya untuk menasehati kamu, tapi aku sendiri sudah merasakannya,” katanya sambil mengambil tas jinjingnya.

“Nggak enak kalau kita hidup tanpa didampingi seorang ibu. Karena sampai kapanpun juga, kasih ibu tidak akan pernah pudar walaupun matahari berhenti bersinar. Mother never stop loving her child forever. Aku pulang dulu ya,” tambahnya sambil menutup pelan pintu dibelakangku.

Memang benar apa yang dikatakan Liza. Tapi disisi lain, hatiku masih terasa sakit bila aku mengingat masa suram itu. Lalu aku harus bagaimana Tuhan? Aku cuma hambamu yang lemah, hambamu yang berlumur dosa, hambamu yang sangat membutuhkan kekuatan dan ketangguhan hati dalam menghadapi semua ujian dari-Mu.

Aku memejamkan mata dan berharap hari esok akan lebih baik lagi, ya semoga saja. Hari itu mungkin menjadi hari terburuk sepanjang hidupku, karena aku bertemu lagi dengan dia. Dialah orang yang tidak mau aku jumpai sampai saat ini, ya dialah ibuku. Dia datang ke rumahku seperti pengemis lain yang sering datang dengan tampang lusuh dan baju compang-camping. Mukanya kusam dan kelihatan sekali keriput didahinya. Terlihat begitu jorok, kotor, dekil, dan menjijikkan.

“Haninta? Kamu Haninta bukan? Kamu.....anakku Haninta kan?” kata wanita tua itu.

Apa setelah aku menjadi seperti sekarang ini, kamu datang memperlihatkan muka memelas sambil berkata,”Haninta anakku,”? Huh, enak saja! Dulu, kamu nggak pernah punya perhatian untukku, kamu nggak pernah punya waktu barang semenit saja untuk menemaniku atau menghiburku dikala orang-orang menertawakanku bahkan memakiku?

“Maafkan ibu, Nak. Ibu mengaku bersalah, ibu khilaf waktu itu, Nak. Maafkan ibu, Ninta,” kata beliau memelas.

“Huh, sekarang nggak ada kata maaf untuk ibu. Apa ibu pikir dengan cuma minta maaf semuanya bisa selesai, Bu? Nggak!” kataku keras.

“Ibu tahu kesalahan ibu sulit untuk kamu maafkan. Tapi sekarang ibu sudah tidak bekerja seperti dulu. Ibu sudah insyaf, percayalah Ninta,” kata ibu lagi.

“Iya, sekarang ibu memang sudah insyaf karena ibu sudah tua kan? Ibu sudah tidak mampu lagi bekerja seperti dulu lagi? Karena itu ibu sudah tidak melayani lagi pria-pria hidung belang itu kan? Lalu sekarang ibu sudah tidak punya apa-apa, datang kesini untuk mengemis maaf dariku dan berharap bisa menikmati semua jerih payahku selama ini, iya?!” kataku marah.

“Bukan, nak. Bukan itu yang ibu harapkan. Ibu cuma mau minta maaf, karena telah menelantarkan kamu dulu. Ibu melakukan semua itu hanya untuk kamu,” jawab ibuku.

“Alah, persetan dengan omongan itu. Aku nggak percaya sama ibu! Ibu nggak tahu gimana perasaan Ninta waktu itu. Semua orang, iya semua orang kampung menertawakan Ninta, semua orang kampung mencemooh Ninta, semua orang kampung mengatai Ninta, iya semua orang kampung menghina Ninta!! Semuanya, Bu! Bagaimana bisa mereka memperlakukan Ninta seperti layaknya binatang hina yang tak bermoral, menganggap Ninta ini sesuatu yang menjijikkan sehingga perlu dijauhi, dan mereka semua menganggap Ninta seperti sampah busuk yang harus segera disingkirkan dari muka bumi ini!! Sakit bu hati Ninta!”.

Ibu hanya terdiam sambil menundukkan wajahnya. Air mata yang dari tadi aku coba untuk menahan, tapi tak terbendungkan lagi.

“Ibu nggak pernah merasakannya kan?! Mereka semua tidak akan berani mengganggu ibu, karena mereka tahu kalau preman-preman, algojo-algojo, dan centeng-centeng pasar yang bringas itu tak segan untuk memporak-porandakan kampung bila sampai ada yang melukai ibu. Karena bagi mereka, tubuh ibu adalah tambang emas yang perlu mereka jaga. Menjijikkan!! Sangat menjijikkan!!” teriakku.

Ibuku terdiam, hanya cucuran air mata bening menetes dari matanya yang mulai kabur. Andaikan saja, dulu ibu mau mendengar semua kata-kataku, pasti ini tak kan pernah terjadi.

“Ibu tahu Ninta, ibu memang pantas hidup dijalanan, dan ibu tahu kalau ibu tidak pantas untuk menerima maaf dari kamu,” kata ibuku.

“Alah, cukup! Cukup!! Lebih baik kamu pergi dari sini!!” kataku sambil mendorong tubuh lemah ibuku keluar dari rumahku.

Aku segera masuk kedalam rumah setelah memastikan orang tua itu benar-benar sudah pergi dari rumahku. Saat aku mau masuk kepintu, Liza datang menghampiriku lalu menamparku.

PLAKK!!! Tamparannya begitu keras sampai terasa membakar wajahku. Ada apa ini sebenarnya?

“Aku nggak nyangka, ternyata kamu lebih nggak bermoral dari ibu kamu!!” katanya marah.

Liz, apa-apaan sih kamu? Kenapa tiba-tiba nam....”

“Kenapa kamu bilang?! Kamu masih bisa tanya kayak gitu?!! Setelah perlakuan kamu barusan sama ibu kamu?!” katanya berang.

Oh, ternyata Liza melihat apa yang sudah aku perbuat ketika ibuku datang kesini. Tapi kenapa dia bisa semarah itu padaku?

“Perlu kamu tahu aja, ibu kamu datang kesini atas permintaanku. Aku mau kamu dan ibu kamu baikan. Tapi, apa yang sudah kamu lakukan?” katanya.

“Jadi kamu yang nyuruh ibu untuk datang kesini? Aku bener-bener nggak nyangka. Buat apa kamu lakukan hal konyol itu?” tanyaku nggak percaya.

“Aku udah nggak tahu harus nasehatin kamu apa lagi. Denger Nin, jangan pernah ketemu aku lagi atau berhubungan sama aku lagi kalau kamu belum minta maaf sama ibu kamu. Aku nggak mau punya temen yang durhaka sama ibunya!”

“Satu hal lagi, kalau sampe ada apa-apa sama ibu kamu dan kamu belum sempet minta maaf sama beliau, kamu bakalan nyesel!!” kata Liza sambil melempar secarik kertas kecil kemukaku dan kemudian pergi.

Kuambil kertas kecil itu dan ternyata isinya adalah alamat dimana ibuku tinggal. Aku sedih sekali mendengar ucapan Liza barusan sekaligus tak menyangka kalau dia akan mengatakan hal seperti ini. Setelah kejadian itu, Liza benar-benar sudah memutuskan hubungannya denganku. Setiap aku telpon Hpnya selalu mati, dan setiap aku kerumahnya dia selalu tidak ada. Sudah seminggu lebih setelah kejadian itu.

Mungkin benar, aku harus mengakhiri ini semua. Mungkin aku sudah keterlaluan membenci ibuku. Memang seharusnya aku mengingat seseorang dan bukan masa lalunya. Memang benar, kalau memang ibu mau, dia bisa saja menggugurkan kandungannya. Tapi nyatanya dia tidak melakukannya. Aku memutuskan, kalau besok aku akan datang kerumah ibu dan minta maaf kepadanya.

Apa ini yang disebut dengan rumah? tanyaku dalam hati setelah aku sampai diperkampungan kumuh. Sebagian besar rumah hanya terbuat dari kayu seadanya dan gentengnya juga hanya terbuat dari seng-seng. Malahan ada yang membuat rumah dari kardus bekas. Aku berjalan diantara jalanan becek dan bau itu.

Aku berhenti di sebuah rumah amat kecil yang sudah ramai dipadati orang.

Ada apa ini bu?” tanyaku kepada salah satu tetangga.

“Kasihan ibu Retno, dia sudah beberapa hari ini sakit. Sampai-sampai ngigau nyebut-nyebut nama Ninta kalo nggak salah. Mungkin nama anaknya barangkali,” jawab ibu itu.

Kalau sampai terjadi apa-apa sama ibu kamu dan kamu belum sempat minta maaf, maka kamu akan menyesal!! kata-kata itu yang terngiang dikepalaku. Aku langsung masuk kedalam dan mendapati ibuku sudah berbaring lemah diranjang. Aku duduk disisi ranjang, dan menggenggam tangannya yang keriput. Air mataku menetes dipipinya yang keriput. Dia membuka matanya walaupun terasa sangat berat untuknya.

“Ninta....kamu datang Nak? Ibu senang sekali,” katanya.

“Iya, ini Ninta Bu. Ninta minta maaf Bu, Ninta jahat sama ibu. Ninta anak durhaka Bu,” kataku sambil terus menangis.

“Kamu anak baik Nak, ibu bangga bisa melahirkan kamu saat itu dan ibu memohon supaya Tuhan akan selalu melindungi kamu, dan ibu juga mohon agar Tuhan selalu menjaga kesucian hatimu agar tidak menjadi seperti ibu...” katanya parau.

“Karena, kamu adalah satu-satunya yang ibu punya didunia ini. Apapun akan ibu lakukan asal kamu tidak terjerumus kedunia yang dulu ibu geluti.”

“Ibu, Ninta minta maaf Bu. Ninta salah. Ninta....Ninta....Ninta sayang sama ibu,” kataku bercucuran airmata.

Air mata ibu bergulir dari matanya yang kabur.

“Ibu sangat senang, itu kata-kata yang paling indah yang pernah ibu dengar. Ninta, ibu cuma mau bilang, kalau kamu bukan anak haram yang lahir karena hubungan gelap ibu, tapi kamu lahir dan kamu punya ayah, Nak. Sayang, ayah kamu pergi meninggalkan kamu saat kamu ibu kandung,” kata ibu sambil mengelus mukaku.

“Jadi, Ninta bukan an.....”

“Bukan. Ibu ingin kamu menyimpan ini untuk ibu. Ini kalung yang pernah ayah kamu kasih untuk ibu. Ibu senang.....sangat senang.....ibu janji akan menjaga kamu.....bersama ayahmu.....dari atas sana.....” itu kata terakhir yang diucapkan oleh ibu.

“Ibu...!!!!!” pekikku tak percaya.

Ibu sekarang sudah pergi untuk selamanya. Dipemakaman itu, perasaanku begitu perih. Ternyata semua yang Liza katakan kepadaku benar adanya. Dan baru hari ini aku merasakannya. Selamat jalan ibu, terima kasih telah melahirkan Ninta kedunia. Dan terima kasih atas semua yang ibu lakukan untuk Ninta.......dan untuk terakhir kalinya, Ninta mau bilang, maaf ibundaku sayang.....

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar