Selasa, 08 Februari 2011

NYERI DADA

Nah disini mungkin saya akan berbagi sedikit info mengenai nyeri dada. Karena berita yang sedang heboh dibicarakan adalah tentang meninggalnya seorang wakil rakyat yang diduga terkena serangan jantung. Kali ini materi yang akan sedikit diulas adalah mengenai nyeri dada yang erat kaitannya dengan serangan jantung.

Penyebab
Penyebab Miokard pada nyeri dada :
Angina : ketidakseimbangan pasokan oksigen miokard (aliran darah koroner) dengan kebutuhannya (konsumsi oksigen miokard). Penyebab tersering ialah penyakit arteri koroner, tapi dapat juga terjadi pada arteri koroner normal dalam kondisi hipertrofi atau dilatasi ventrikel atau dilatasi ventrikel kiri berat dimana kebutuhan oksigen miokard tinggi.
Penyebab nonmiokard pada nyeri dada :
Akut
Spasme esofagus : amat mirip dgn angina tetapi lebih lama dan tidak terkait dgn aktivitas fisik
Diseksi aorta torakalis : biasanya dirasakan interskapular (antar scapula)
Pneumonia : biasanya plueritik tetapi nyeri dapat lebih difus
Pneumotoraks : lokal (tidak menjalar), intens, pleuritik
Emboli paru : nyeri pleuritik dan lokal atau rasa tidak nyaman tumpul sentral
Perikarditis : berbeda-beda tergantung posisi dan pernapasan
Kronis
Kostokondritis (sindrom Tietze) : lokal dan nyeri tekan di dinding dada
Ulkus peptikum
Penyakit kandung empedu : biasanya disertai gejala abdominal
Penyakit pankreas
Penyakit tulang belakang servikasi atau torakalis : berkaitan dengan gerakan
Beda Infark Miokard Akut dan Angina Pectoris
Infark Miokard Akut
ü Nyeri dada retrosternal, seperti diremas remas, ditekan, ditusuk, panas/ditindih barang berat.
ü Nyeri dapat menjalar ke lengan(umumnya kiri),bahu,leher, rahang, bahkan ke punggung dan epigastrium.
ü Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pektoris biasa dan tak responsif terhadap nitrogliserin.
ü Nyeri dapat disertai perasaan mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin berdebar-debar atau sinkope (pingsan).
ü Pasien sering tampak ketakutan.
Angina pectoris :
ü Pasien merasakan sakit dada di daerah sternum/di bawah sternum(substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang – kadang menjalar ke lengan kiri, kadang – dapat menjalar ke punggung,rahang,leher atau ke lengan kanan.
ü Sakit dada biasanya seperti tertekan benda berat/seperti diperas/terasa panas, kadang-kadang perasaan tidak enak di dada.
ü Timbul pada waktu melakukan aktifitas dan akan segara hilang,bila pasien tersebut menghentikan aktifitasnya.
ü Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat/tidur malam.
ü Serangan sakit dada biasanya berlangsung 1-5 menit
ü Dapat pula timbul keluhan lain seperti sesak nafas,perasaan lelah,sakit dada disertai keringat dingin.
Nah jadi disini bedanya Infark dengan Angina adalah dari lamanya waktu serangan dan faktor yang menimbulkan serangan. Kalau Infark dia waktunya lebih lama (lebih dari 5 menit) dan tidak hilang dengan istirahat dan terjadi tidak berkaitan dengan aktivitas jadi dalam kondisi apapun bisa timbul. Nah kalo Angina, dia itu waktunya lebih singkat dan tergantung dari faktor aktivitas, karena sebelumnya sudah dijelaskan bahwa angina itu karena kurangnya pasokan oksigen ke jantung, makanya otot jantung akan kekurangan oksigen dan efeknya adalah timbul rasa nyeri dada. Ditambah lagi kalo Infark itu gejalanya lebih berat, biasanya orangnya akan disertai mual, muntah, keluar keringat dingin.
Mekanisme

Pemeriksaan Penunjang

1. EKG, pada saat serangan angina EKG akan menunjukkan adanya depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif
2. Foto Rontgen Dada, seringkali menunjukkan bentuk jantung yang normal tetapi pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung yang membesar dan kadang-kadang tampak adanya klasifikasi arkus aorta
3. Pemeriksaan laboratorium, dengan pemeriksaan enzim CPK, SGOT dan LDH rendah, HDL tinggi
4. Uji Latih Jasmani, pasien disuruh melakukan latihan dengan alat treadmill, atau sepeda ergometer sampai pasien mencapai kecepatan jantung maksimal atau submaksimal.
5. Thallium Exercise Myocardial Imaging, Thallium 201 disuntikkan secara intravena pada puncak latihan, kemudian dilakukan pemeriksaan scanning jantung segera setelah latihan dihentikan dan diulang kembali setelah pasien istirahat dan kembali normal
Pengaruh diet terhadap nyeri dada :
1) Berkenaan dengan senyawa kolesterol yang masuk bersama hidangan yang kita makan, usaha2 mengatasinya adalah pertama2 mengidentifikasi jenis makanan yang kaya akan kandungan kolesterol, kemudian mengurangu jumlah yangdikonsumsi.
2) Beberapa jenis bahan makanan yang mempunyai khasiat mampu menarik senyawa kolesterol di dalam pencernaan dan dikeluarkan bersama dengan ampas/tinja ( feces ). Bahan makanan ini adalah jenis yang mengandung serat yang larut. Dengan demikian kolesterol yang ikut soluble fiber tersebut tidak sampai ke cairan darah. Jadi tidak menambah kadar kolesterol darah.
3) Konsumsi garam yang tinggi akan meningkatkan hipertensi yang merupakan faktor risiko dari nyeri dada, jadi hindari makan yang mengandung kadar garam tinggi ( sodium ).
Pengaruh rokok terhadap nyeri dada :
Merokok mempunyai efek langsung terhadap dinding arteri. CO dapat menyebabkan hipoksia jaringa arteri, CO juga lebih kuat terikat oleh Hb daripada berikatan dengan O2, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambah reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri. Glikoprotein pada tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
Karena rokok itu mengandung nikotin dimana bila seseorang terlalu banyak menghisap rokok, maka akan terdapat flek hitam yang semakin banyak yang akan menutupi rongga pada paru2 sehingga pada waktu bernafas udara yang masuk hanya sedikit sehingga mengakibatkan nyeri pada dada.
Nikotin yang terkandung dalam rokok akan menyebabkan vasokonstriksi (pengecilan pembuluh darah, khususnya kontriksi arteriol yang menyebabkan berkuranganya aliran darah ke suatu bagian tubuh) koroner yang dapat mengakibatkan iskemia miokard.

Nah bagan macam2 nyeri dada sebagai berikut :

Sumber Materi :
1. Pencegahan dan penyembuhan penyakit jantung koroner , Imam soeharto (prinsip2 IPD, horisson)
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, tahun 1996, FKUI
3. IPD Jilid 1,Balai Penerbitan FKUI.jakarta,Trisnohadi,H.B.2000
4. Lecture Kardiologi Ed.4. 1967. Huon H. Gray, Keith D. Dawkins, John M. Morgan, Iain A. Simpson

Maaf Ibundaku Sayang......

Well..well..well...ini juga cerpen jaman bahula. Masih jaman SMA dulu juga sama seperti postingan sebelumnya. Cerpen jaman SMP aku tulis dibuku, soalnya jaman itu belon kenal komputer. Mau nulis dikomputer atau ngetik masih males banget. Nah di cerpenku kali ini kemungkinan ada beberapa kalimat atau kata yang agak sensitif untuk diliat atau dibaca, saya mohon maaf. Tapi bukan maksud saya untuk menerbitkan umpatan, karena ini merupakan bagian dari cerita dan pemikiran saya bila seandainya saya berada diposisi yang sama...nah selamat membaca...

Sedih rasanya bila teringat masa laluku yang kelam. Tidak satupun orang yang menghormati aku, bahkan mereka tak segan untuk memakiku ketika aku melewati mereka. Karena itu, aku lebih memilih untuk mengubur semua kenangan buruk masa laluku. Tapi, entah kenapa, setiap malam aku selalu teringat. Kalau aku mengingatnya kembali, itu cuma akan membuat panas hatiku, membuat perih nuraniku. Aku bersumpah dalam hati, kalau aku tidak akan memaafkan orang yang sudah membuat hidupku menderita. Sangat menjijikkan, sangat kotor, bahkan lebih hina dari pada binatang hina manapun!

Walaupun orang itu yang telah melahirkan aku kedunia ini, aku tidak akan pernah mau menerimanya kembali dalam kehidupanku! Aku tidak peduli kalau aku dibilang anak durhaka, atau persetan dengan semua itu. Cukup sudah semua derita yang dulu kujalani. Walaupun seribu maaf terucap dari bibirnya, itu tidak akan membuat hatiku gentar untuk mau memaafkannya. Bahkan bila dia menangis darah dihadapanku, itu tidak akan membuat aku mau memaafkannya. Susah payah aku mengangkat martabatku sampai menjadi seperti sekarang ini.

Dan tidak akan aku biarkan, orang-orang tahu bahwa seorang pengacara bernama Haninta Restariani adalah anak seorang pelacur hina. Ya, itu Haninta yang dulu adalah anak seorang pelacur rendahan, tapi kini, Haninta adalah seorang pengacara kondang kota ini. Kusibakkan semua masa laluku yang kelam, dan menepis semua ketakutan yang ada di dalam diriku.

Anak Pelacur! Anak Pelacur! Anak Pelacur!” kata-kata itu masih terngiang di telingaku sewaktu semua anak-anak mencemoohku dan mereka tak segan meludahiku karena terlalu jijik.

Dua tetes air mataku berguliran di pipiku. Kenapa sampai sekarang aku tidak bisa lepas dari bayang-bayang masa laluku yang kelam? Kenapa aku dulu harus ditakdirkan terlahir dari rahim seorang pekcum? Sekalipun, aku belum pernah melihat ayahku yang sebenarnya. Dan mungkin ibu akan bingung juga bila aku bertanya seperti itu. Apakah orang kaya itu, atau orang yang berkumis tipis itu, atau malah tukang becak yang sering memberi tumpangan ibu? Atau......

Entahlah, yang mana. Terlalu banyak lelaki yang pernah tidur dengannya. Bingung siapa sebenarnya aku ini? Sudahlah, toh sekarang adalah sekarang, dulu adalah masa lalu yang kelam.

Nin, kamu kenapa? Inget itu lagi ya?” tanya Liza teman baikku.

Aku segera menghapus butiran air mataku dengan punggung tanganku,”Eh, kamu Liz, udah lama disitu ya?” tanyaku kemudian.

Liza menaruh tasnya dan menghampiriku,”Nggak kok. Aku baru aja nyampe rumahmu. Tadi waktu pulang kan jalannya ngelewatin rumah kamu, ya aku mampir,” katanya sambil duduk dikursi sampingku.

Satu-satunya teman yang bisa aku percaya sekarang adalah Liza. Dia teman kuliahku dulu, dan sekarang dia sudah bekerja jadi sekretaris disalah satu perusahan garmen kota ini. Dia sering sekali menyempatkan datang kerumahku untuk sekedar mampir sembari ngobrol-ngobrol mengenai banyak hal.

“Kamu nggak apa-apa kan Nin? Jangan inget-inget lagi. Itu kan masa lalu yang kelam,” kata Liza sedikit khawatir melihat mukaku yang sembam.

“Aku nggak apa-apa kok. Nggak tahu kenapa, tapi belakangan ini aku jadi keinget terus ya Liz, aku jadi takut,” kataku.

“Mungkin, Tuhan menginginkan kamu mengingat seseorang, bukan kejadiannya,” jawab Liza agak ragu.

Mungkin yang dimaksudkan Liza dengan seseorang itu adalah ibuku. Sudah belasan tahun aku tidak bersua lagi, bahkan kalau bisa aku tidak ingin melihatnya lagi. Hanya dua tahun kemarin, aku bertemu denganya dijalan. Aku dan Liza sedang berhenti dilampu merah saat seorang pengemis tua mengulurkan tangannya untuk meminta uang.

Keadaannya begitu lusuh, begitu kumal, dan begitu kotor, mungkin itu yang seharusnya diterimanya sejak dulu.

Nin, apa kamu nggak kasihan sama ibu kamu? Apa kamu nggak lihat keadaannya waktu itu?” kata Liza kemudian.

“Hah? Kasihan kamu bilang?!” pekikku heran.

“Apa perlu seorang wanita jalang macam dia kita kasihani? Memang sudah seharusnya dia ada dijalan, seperti seonggok sampah yang tidak ada artinya!” kataku mulai marah.

Nin, tapi dia kan.....”

“Seharusnya kamu ngerti gimana dulu aku diperlakukan oleh dia. Bagaimana sakitnya hatiku saat orang-orang mengolokku, saat aku ditendang kesana-kesini, saat aku diludahi, saat aku dicaci-maki, sedangkan dia.....” kataku sambil menunjuk entah kearah mana ibuku berada.

“Sedangkan dia, enak-enakan dengan tamu-tamu hidung belangnya, bergumun di ranjang kemaksiatan, menarikan tarian-tarian setan, sedangkan aku kesepian dirumah,” tambahku.

Liza terdiam, dia mengerti betul bagaimana kalau aku sedang marah.

“Nggak! Aku nggak terima! Aku benar-benar nggak terima ini semua terjadi padaku! Kenapa dulu waktu aku bilang berhenti, dia tidak menanggapinya dan malah menamparku, dan bilang kalau aku ini masih bau kencur? Kenapa dulu dia nggak pernah sadar akan apa yang selama ini dia perbuat?! Kenapa?!!” raungku sambil melempar apa saja yang ada didepanku.

Nin, tenang! Kenapa kamu jadi larut kemasa lalumu?”

Aku terduduk lemas disofa.”Huh, apa dan siapa yang seharusnya dikasihani?” dengusku.

“Memang dia tidak merasa apa-apa. Tapi semua olokan, caci-maki, dan hinaan itu dilancarkan oleh semua orang padaku, hanya padaku!!” kataku keras.

Nin, dia memang salah, dan mungkin dia bukan figure yang baik bagi seorang ibu, tapi setidaknya, dia yang melahirkanmu, dia yang mempertaruhkan sebagian nyawanya hanya untuk melahirkan kamu. Kalau ibumu mau, pasti sudah sejak awal beliau menggugurkan kandunganya, tapi nyatanya...??” jelas Liza.

Liz, ibuku hanya seorang pelacur murahan, dari mana uang untuk menggugurkan kandungannya?” kilahku tak mau kalah.

“Dulu, dia tidak mau tahu bagaimana keadaanku, saat aku membutuhkannya malam hari, dia asyik dengan tamu-tamu biadab itu, saat aku kesusahan mengerjakan semua PRku, dia asyik menari dan menghibur binatang-binatang buas itu!”

Susah payah aku mengangkat derajatku sampai seperti sekarang ini. Ini semua hasil jerih payahku, ini semua adalah titihan air mata yang tiap malam aku keluarkan, memohon supaya Tuhan mau membuka mata ibuku dan mengembalikannya kembali ke jalan kebenaran, ini adalah perjuanganku! Aku adalah Haninta yang dulu adalah anak seorang pelacur, yang sekarang bisa menjadi pengacara sukses,” kataku.

“Aku ingin seperti anak-anak lain, membawa piagam keberhasilanku, menciumku ketika aku mendapatkan penghargaan atau juara, dan menangis bahagia tatkala aku mendapat gaji pertamaku. Aku ingin semua itu Liz! Aku iri dengan semua anak lain!”

“Aku ngerti kok Nin, ngerti banget bagaimana sakitnya hati kamu sekarang. Aku cuma mau memberi tahu kamu kalau orang seperti aku ini, orang yang nggak pernah tahu rupa ayah atau ibuku. Aku cuma dibesarkan dan diasuh dipanti asuhan. Menerima kasih dari orang lain. Kasih yang sesungguhnya harus aku dapatkan dari salah satu orang tuaku nggak pernah kesampaian. Aku cuma bisa berkhayal suatu saat nanti ada ibu peri baik hati yang mau memberiku seorang mama.”

“Mungkin sangat menyenangkan bisa memanggil ibu kita dengan kata mama dan memeluknya dengan manja, menyentuh wajahnya dengan jemari mungil kita, dan mendapat belaian kasih darinya. Seandainya aku bisa, iya seandainya aku bisa Nin,” kata Liza sedih.

Kami berdua diam sejenak, seolah memikirkan satu sama lain nasib kami. Lalu aku menghampiri Liza dan memelukknya. Aku sangat menyayangi Liza sama halnya seperti saudara kandungku. Mungkin karena kami punya nasib yang mirip. Maaf Liz, hatiku sudah terlanjur sakit, jadi aku tidak mudah memaafkan kesalahannya, gumamku dalam hati.

“Mm....kayaknya udah sore banget nih, aku pulang dulu ya. Nin, tolong deh kamu pikirin lagi apa yang tadi udah aku omongin . Karena aku ngomong gitu bukan semata-mata hanya untuk menasehati kamu, tapi aku sendiri sudah merasakannya,” katanya sambil mengambil tas jinjingnya.

“Nggak enak kalau kita hidup tanpa didampingi seorang ibu. Karena sampai kapanpun juga, kasih ibu tidak akan pernah pudar walaupun matahari berhenti bersinar. Mother never stop loving her child forever. Aku pulang dulu ya,” tambahnya sambil menutup pelan pintu dibelakangku.

Memang benar apa yang dikatakan Liza. Tapi disisi lain, hatiku masih terasa sakit bila aku mengingat masa suram itu. Lalu aku harus bagaimana Tuhan? Aku cuma hambamu yang lemah, hambamu yang berlumur dosa, hambamu yang sangat membutuhkan kekuatan dan ketangguhan hati dalam menghadapi semua ujian dari-Mu.

Aku memejamkan mata dan berharap hari esok akan lebih baik lagi, ya semoga saja. Hari itu mungkin menjadi hari terburuk sepanjang hidupku, karena aku bertemu lagi dengan dia. Dialah orang yang tidak mau aku jumpai sampai saat ini, ya dialah ibuku. Dia datang ke rumahku seperti pengemis lain yang sering datang dengan tampang lusuh dan baju compang-camping. Mukanya kusam dan kelihatan sekali keriput didahinya. Terlihat begitu jorok, kotor, dekil, dan menjijikkan.

“Haninta? Kamu Haninta bukan? Kamu.....anakku Haninta kan?” kata wanita tua itu.

Apa setelah aku menjadi seperti sekarang ini, kamu datang memperlihatkan muka memelas sambil berkata,”Haninta anakku,”? Huh, enak saja! Dulu, kamu nggak pernah punya perhatian untukku, kamu nggak pernah punya waktu barang semenit saja untuk menemaniku atau menghiburku dikala orang-orang menertawakanku bahkan memakiku?

“Maafkan ibu, Nak. Ibu mengaku bersalah, ibu khilaf waktu itu, Nak. Maafkan ibu, Ninta,” kata beliau memelas.

“Huh, sekarang nggak ada kata maaf untuk ibu. Apa ibu pikir dengan cuma minta maaf semuanya bisa selesai, Bu? Nggak!” kataku keras.

“Ibu tahu kesalahan ibu sulit untuk kamu maafkan. Tapi sekarang ibu sudah tidak bekerja seperti dulu. Ibu sudah insyaf, percayalah Ninta,” kata ibu lagi.

“Iya, sekarang ibu memang sudah insyaf karena ibu sudah tua kan? Ibu sudah tidak mampu lagi bekerja seperti dulu lagi? Karena itu ibu sudah tidak melayani lagi pria-pria hidung belang itu kan? Lalu sekarang ibu sudah tidak punya apa-apa, datang kesini untuk mengemis maaf dariku dan berharap bisa menikmati semua jerih payahku selama ini, iya?!” kataku marah.

“Bukan, nak. Bukan itu yang ibu harapkan. Ibu cuma mau minta maaf, karena telah menelantarkan kamu dulu. Ibu melakukan semua itu hanya untuk kamu,” jawab ibuku.

“Alah, persetan dengan omongan itu. Aku nggak percaya sama ibu! Ibu nggak tahu gimana perasaan Ninta waktu itu. Semua orang, iya semua orang kampung menertawakan Ninta, semua orang kampung mencemooh Ninta, semua orang kampung mengatai Ninta, iya semua orang kampung menghina Ninta!! Semuanya, Bu! Bagaimana bisa mereka memperlakukan Ninta seperti layaknya binatang hina yang tak bermoral, menganggap Ninta ini sesuatu yang menjijikkan sehingga perlu dijauhi, dan mereka semua menganggap Ninta seperti sampah busuk yang harus segera disingkirkan dari muka bumi ini!! Sakit bu hati Ninta!”.

Ibu hanya terdiam sambil menundukkan wajahnya. Air mata yang dari tadi aku coba untuk menahan, tapi tak terbendungkan lagi.

“Ibu nggak pernah merasakannya kan?! Mereka semua tidak akan berani mengganggu ibu, karena mereka tahu kalau preman-preman, algojo-algojo, dan centeng-centeng pasar yang bringas itu tak segan untuk memporak-porandakan kampung bila sampai ada yang melukai ibu. Karena bagi mereka, tubuh ibu adalah tambang emas yang perlu mereka jaga. Menjijikkan!! Sangat menjijikkan!!” teriakku.

Ibuku terdiam, hanya cucuran air mata bening menetes dari matanya yang mulai kabur. Andaikan saja, dulu ibu mau mendengar semua kata-kataku, pasti ini tak kan pernah terjadi.

“Ibu tahu Ninta, ibu memang pantas hidup dijalanan, dan ibu tahu kalau ibu tidak pantas untuk menerima maaf dari kamu,” kata ibuku.

“Alah, cukup! Cukup!! Lebih baik kamu pergi dari sini!!” kataku sambil mendorong tubuh lemah ibuku keluar dari rumahku.

Aku segera masuk kedalam rumah setelah memastikan orang tua itu benar-benar sudah pergi dari rumahku. Saat aku mau masuk kepintu, Liza datang menghampiriku lalu menamparku.

PLAKK!!! Tamparannya begitu keras sampai terasa membakar wajahku. Ada apa ini sebenarnya?

“Aku nggak nyangka, ternyata kamu lebih nggak bermoral dari ibu kamu!!” katanya marah.

Liz, apa-apaan sih kamu? Kenapa tiba-tiba nam....”

“Kenapa kamu bilang?! Kamu masih bisa tanya kayak gitu?!! Setelah perlakuan kamu barusan sama ibu kamu?!” katanya berang.

Oh, ternyata Liza melihat apa yang sudah aku perbuat ketika ibuku datang kesini. Tapi kenapa dia bisa semarah itu padaku?

“Perlu kamu tahu aja, ibu kamu datang kesini atas permintaanku. Aku mau kamu dan ibu kamu baikan. Tapi, apa yang sudah kamu lakukan?” katanya.

“Jadi kamu yang nyuruh ibu untuk datang kesini? Aku bener-bener nggak nyangka. Buat apa kamu lakukan hal konyol itu?” tanyaku nggak percaya.

“Aku udah nggak tahu harus nasehatin kamu apa lagi. Denger Nin, jangan pernah ketemu aku lagi atau berhubungan sama aku lagi kalau kamu belum minta maaf sama ibu kamu. Aku nggak mau punya temen yang durhaka sama ibunya!”

“Satu hal lagi, kalau sampe ada apa-apa sama ibu kamu dan kamu belum sempet minta maaf sama beliau, kamu bakalan nyesel!!” kata Liza sambil melempar secarik kertas kecil kemukaku dan kemudian pergi.

Kuambil kertas kecil itu dan ternyata isinya adalah alamat dimana ibuku tinggal. Aku sedih sekali mendengar ucapan Liza barusan sekaligus tak menyangka kalau dia akan mengatakan hal seperti ini. Setelah kejadian itu, Liza benar-benar sudah memutuskan hubungannya denganku. Setiap aku telpon Hpnya selalu mati, dan setiap aku kerumahnya dia selalu tidak ada. Sudah seminggu lebih setelah kejadian itu.

Mungkin benar, aku harus mengakhiri ini semua. Mungkin aku sudah keterlaluan membenci ibuku. Memang seharusnya aku mengingat seseorang dan bukan masa lalunya. Memang benar, kalau memang ibu mau, dia bisa saja menggugurkan kandungannya. Tapi nyatanya dia tidak melakukannya. Aku memutuskan, kalau besok aku akan datang kerumah ibu dan minta maaf kepadanya.

Apa ini yang disebut dengan rumah? tanyaku dalam hati setelah aku sampai diperkampungan kumuh. Sebagian besar rumah hanya terbuat dari kayu seadanya dan gentengnya juga hanya terbuat dari seng-seng. Malahan ada yang membuat rumah dari kardus bekas. Aku berjalan diantara jalanan becek dan bau itu.

Aku berhenti di sebuah rumah amat kecil yang sudah ramai dipadati orang.

Ada apa ini bu?” tanyaku kepada salah satu tetangga.

“Kasihan ibu Retno, dia sudah beberapa hari ini sakit. Sampai-sampai ngigau nyebut-nyebut nama Ninta kalo nggak salah. Mungkin nama anaknya barangkali,” jawab ibu itu.

Kalau sampai terjadi apa-apa sama ibu kamu dan kamu belum sempat minta maaf, maka kamu akan menyesal!! kata-kata itu yang terngiang dikepalaku. Aku langsung masuk kedalam dan mendapati ibuku sudah berbaring lemah diranjang. Aku duduk disisi ranjang, dan menggenggam tangannya yang keriput. Air mataku menetes dipipinya yang keriput. Dia membuka matanya walaupun terasa sangat berat untuknya.

“Ninta....kamu datang Nak? Ibu senang sekali,” katanya.

“Iya, ini Ninta Bu. Ninta minta maaf Bu, Ninta jahat sama ibu. Ninta anak durhaka Bu,” kataku sambil terus menangis.

“Kamu anak baik Nak, ibu bangga bisa melahirkan kamu saat itu dan ibu memohon supaya Tuhan akan selalu melindungi kamu, dan ibu juga mohon agar Tuhan selalu menjaga kesucian hatimu agar tidak menjadi seperti ibu...” katanya parau.

“Karena, kamu adalah satu-satunya yang ibu punya didunia ini. Apapun akan ibu lakukan asal kamu tidak terjerumus kedunia yang dulu ibu geluti.”

“Ibu, Ninta minta maaf Bu. Ninta salah. Ninta....Ninta....Ninta sayang sama ibu,” kataku bercucuran airmata.

Air mata ibu bergulir dari matanya yang kabur.

“Ibu sangat senang, itu kata-kata yang paling indah yang pernah ibu dengar. Ninta, ibu cuma mau bilang, kalau kamu bukan anak haram yang lahir karena hubungan gelap ibu, tapi kamu lahir dan kamu punya ayah, Nak. Sayang, ayah kamu pergi meninggalkan kamu saat kamu ibu kandung,” kata ibu sambil mengelus mukaku.

“Jadi, Ninta bukan an.....”

“Bukan. Ibu ingin kamu menyimpan ini untuk ibu. Ini kalung yang pernah ayah kamu kasih untuk ibu. Ibu senang.....sangat senang.....ibu janji akan menjaga kamu.....bersama ayahmu.....dari atas sana.....” itu kata terakhir yang diucapkan oleh ibu.

“Ibu...!!!!!” pekikku tak percaya.

Ibu sekarang sudah pergi untuk selamanya. Dipemakaman itu, perasaanku begitu perih. Ternyata semua yang Liza katakan kepadaku benar adanya. Dan baru hari ini aku merasakannya. Selamat jalan ibu, terima kasih telah melahirkan Ninta kedunia. Dan terima kasih atas semua yang ibu lakukan untuk Ninta.......dan untuk terakhir kalinya, Ninta mau bilang, maaf ibundaku sayang.....

TAMAT

Seputih Edelweis


Nah, ini juga cerpen jaman bahula dulu. Waktu jaman SMA juga, satu file ama cerpen sebelumnya. Ya biasalah kalo kata-katanya masih norak dan temanya masih tentang all about Love (C.I.N.T.A) kayak judul laguu ajaa...Ini merupakan karangan fiksi dan maaf bila nama anda mungkin mirip..hahahaaay

Sudah lima hari ini, tiap malam aku selalu mendengar tangis seorang gadis dari sebelah kamarku. Setiap aku lewat selalu saja terdengar suara tangisan. Di rumah sakit ini, memang semua orang sedang sakit. Tapi kenapa gadis itu selalu menangis tiap malamnya? Sudah seminggu ini dia dirawat disana. Dia menempati kamar nomor 222 sedang aku sendiri menempati kamar persis di sebelahnya yaitu 221.

Aku ada di rumah sakit ini sudah dua bulan. Aku dirawat di sini karena aku sakit kanker hati stadium lanjut. Aku lebih memilih untuk menghabiskan usiaku dengan berada di rumah sakit ini. Karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Ayah dan ibuku meninggal saat aku berusia lima tahun karena kecelakaan. Sepeninggal orang tuaku, aku dirawat oleh kakekku yang konglomerat itu. Tapi sudah setahun yang lalu kakekku meninggal.

Jadi aku putuskan untuk tinggal di sini saja, dari pada aku harus sendirian di rumah sebesar itu. Karena di sini ada orang-orang yang selalu memperhatikan aku, apalagi suster disini cantik-cantik. Nggak mungkin bosen.

Karena merasa kasihan, hari itu aku mengiriminya bunga edelweis lewat seorang suster.

“Pagi mbak Selo?” sapa suster itu ketika masuk ke kamar gadis itu.

“Pagi suster,” jawabnya ramah.

“Ini ada titipan buat mbak. Saya jadi ngiri deh mbak,” kata suster itu sambil memberikan bunga edelweis itu kepada Selomitha. Gadis yang selalu menangis tiap malam itu dan dirawat disebelah kamarku adalah Selomitha.

Selomitha menerima bunga edelweis itu sambil berkata,”Kenapa suster ngiri? Memang siapa yang mengirim bunga ini? Apa nggak salah kirim?” tanya Selo.

“Asal mbak tahu aja ya, yang ngirim tuh mas Damar. Pasien di sebelah kamar mbak Selo. Dia itu pasien kesayangan suster-suster disini, ya karena mukanya yang ganteng juga sih,” jawab suster itu tersipu malu.

“Damar? Tapi saya nggak kenal sama yang namanya Damar. Kenapa dia mengirimi saya bunga?” tanya Selo lagi.

“Saya nggak tahu pasti. Tapi kata mas Damar tolong berikan ini ke kamar 222. Mbak Selo beruntung banget,” jawab suster itu.

Ada sepucuk kertas yang di selipkan diantara bunga edelweis itu. Selomitha lalu membukanya dan membaca dalam hati. Tulisan itu berbunyi:

Jangan nangis lagi ya.....

Selomitha jadi penasaran dengan orang yang telah mengiriminya bunga. Lalu siang itu, Selo mengetuk pintu kamar nomor 221 itu. Seorang cowok keluar dari kamar itu. Memang benar apa yang dibilang sama suster tadi kalau cowok yang namanya Damar ini adalah makhluk yang ganteng.

“Gimana? Udah terima bunganya?” tanyaku tak segan-segan.

“Udah sih, tapi maaf aku nggak kenal sama kamu,” jawab Selo.

“Kalo gitu, sekarang kita kenalan dulu. Aku Damar, cowok paling ganteng di rumah sakit ini. Aku juga pasien kesayangan semua suster,” kataku pede.

Dia malah tertawa mendengar ucapanku barusan. Mungkin dipikirnya aku ini sedang bercanda. Sangat berbeda sekali. Wajahnya sangat berbeda sekali saat ini. Dia bisa tertawa seperti ini tapi nggak menyangka kalau tiap malam dia selalu menangis.

“Kenapa malah ketawa?” tanyaku.

“Nggak kok. Aku cuma belum pernah ketemu sama cowok yang bisa ngomong sepede ini. Lucu aja,” jawabnya.

Kamu Selomitha kan?” tanyaku lagi.

“Iya. Kamu kok tahu sih? Dari mana kamu tahu namaku?” tanya Selo penasaran.

“Aku kan tetangga sebelah kamarmu, jadi aku tahu,” jawabku singkat.

Kami sempat mengobrol beberapa lama. Saat seorang suster memanggilku untuk pergi ke ruang dokter, aku dengan berat hati harus pergi meninggalkan Selo.

“Damar!” panggil Selo. Dan aku menoleh ke arahnya.

“Terima kasih bunganya,” jawabnya. Aku tersenyum simpul dan kembali melangkah ke ruang dokter. Aku segera duduk setelah masuk ke ruangan dokter Helmi. Dia dokter keluargaku, dia tahu seluk-beluk mengenai kesehatan keluargaku.

“Kamu kelihatan sangat sehat hari ini dan lebih ceria dari biasanya. Ya, baguslah. Saya kira kamu akan merasa bosan tinggal di sini,” kata Dokter Helmi.

“Nggak mungkin dok kalo saya bosan. Apalagi sekarang saya punya teman baru,” kataku.

“Teman baru atau mangsa baru?” goda Dokter Helmi.

“Dokter bisa aja. Emangnya saya ini buaya, mau cari mangsa?” jawabku.

“Kamu kan memang buaya. Buaya darat, iya kan? Sudah berapa banyak suster yang terbius sama rayuan kamu?” kata dokter lagi.

Aku tertawa dan Dokter Helmipun ikut tertawa. Kami memang selalu seperti ini bila bertemu. Hubungan kami sangat dekat, aku menganggap Dokter Helmi sudah seperti keluarga sendiri.

“Ehm.....pasien disebelah kamar saya itu sakit apa ya dok?” tanyaku mencoba.

“Oh, Selomitha? Dia sakit jantung. Dia harus segera dioperasi. Tapi sampai sekarang belum ada pendonor jantung yang mau mendonorkan jantungnya. Memangnya ada apa?”

“Oh, saya tahu, itu kan yang tadi kamu sebut dengan teman baru?” tanya Dokter Helmi. Aku hanya mengangguk pelan.

Kasihan juga gadis itu. Dia bisa mati kapan saja bila jantungnya kumat. Pantas, kalau dia selalu menangis tiap malam. Dalam hitungan minggu, aku bisa dekat dengan gadis itu. Aku memang bisa dekat dengan siapa saja kalau aku mau. Kami bercerita banyak hal, mulai dari makanan favorit sampai kebiasaan buruk yang sering kami lakukan.

Dia selalu kelihatan ceria, apalagi senyumnya yang selalu membuat orang bahagia bila disampingnya. Tapi nggak nyangka, kalau gadis sebaik itu harus sakit jantung.

“Damar, boleh tahu nggak, kenapa dulu kamu memberiku bunga edelweis?” tanya Selo kemudian.

“Kata orang, bunga edelweis itu bunga abadi. Dia bisa tumbuh dan tetap berbunga walaupun dia hidup di pegunungan yang dingin. Aku mau kamu juga begitu. Jangan pernah menyerah walaupun belum ada pendonor jantung buat kamu,” jawabku.

“Apalagi, waktu itu aku tahu kalau setiap malam pasti kamu menangis sendirian di kamar,” tambahku.

Dia tersenyum mendengar jawabanku.”Makasih ya,” katanya kemudian.

“Tahu nggak waktu pertama kali aku denger tangisan kamu?” tanyaku.

Selomitha hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.

“Waktu pertama kali denger tangisan kamu, aku takut banget sampai bulu kudukku berdiri. Aku pikir, ada kuntilanak lagi nangis, tapi ternyata itu suara kamu,” kataku.

Kan serem, masak jam 12 malam ada suara orang nangis, ini kan rumah sakit. Aku kira hantunya pada gentayangan,” tambahku lagi.

Selo malah tertawa mendengar jawabanku barusan.”Kok malah ketawa sih? Kamu itu udah bikin aku takut. Aku kira kamar yang ada disebelahku itu angker. Masak tiap malam ada suara orang nangis sih,” kataku.

“Abisnya kamu lucu sih! Masak udah gede masih takut sama yang namanya hantu? Kamu kan cowok,” kata Selo sambil menahan tawa.

Senang juga bisa melihat Selo tertawa. Biasanya dia selalu menangis. Kalau tahu umurnya nggak panjang, sedih juga rasanya.

“Aku boleh tahu nggak, kenapa kamu selalu menangis tiap malam?” tanyaku mencoba.

“Sebenernya aku nggak takut kalau suatu saat nanti Tuhan akan mencabut nyawaku. Yang aku takutkan adalah bagaimana perasaan orang-orang yang aku cintai, kalau sampai tahu aku akan pergi meninggalkan mereka.”

“Apalagi perasaan orang yang telah membesarkanku dan mencurahkan kasih sayang untukku. Padahal aku belum bisa memberikan sesuatu yang bisa membalas kasih sayang mereka. Ya....tapi aku bisa apa? Aku cuma bisa pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan,” tambah Selo.

Itu memang benar. Kematian merupakan takdir yang tak terelakkan bagi semua orang. Semua yang hidup pasti akan mati dan semua yang bernyawa pasti akan hilang, kembali kepada sang Pencipta. Mungkin saat malaikat kematian mulai tersenyum pada kita, saat itulah segala sesuatu menjadi tidak berarti.

Aku ingin sekali membantu Selo, tapi bagaimana? Dia masih mempunyai orang-orang yang dicintainya. Pasti mereka akan sangat merasa sedih kalau sampai kehilangan Selo. Siang itu aku pergi ke kamar Selo dan melihatnya sedang membaca buku.

“Hai, lagi ngapain nih?” tanyaku.

“Lagi baca buku. Mm....tahu nggak apa yang paling aku inginkan seandainya nanti aku bisa sembuh?” tanya Selo padaku.

Aku cuma menggelengkan kepala.

“Aku kepingin banget bisa sekolah hukum di Leiden, London. Ya....itu cuma keinginanku doang. Keinginan yang nggak mungkin aku gapai,” katanya getir kemudian.

Kasihan, dia punya keinginan mau melanjutkan sekolahnya ke sekolah hukum di Leiden London.

“Kamu pasti bisa kok ke sana,” kataku.

Semalaman aku memikirkannya. Akhirnya aku mengambil keputusan yang mungkin akan membuat dokter Helmi marah. Tapi hanya ini satu-satunya yang bisa aku lakukan untuknya. Pagi itu aku pergi ke kamar Selo, seperti biasa ingin mengajaknya jalan-jalan sambil mengobrol. Tapi, aku nggak menemukan Selo di kamarnya. Aku kaget dan bertanya pada salah satu suster.

“Oh, mbak Selo? Dia sekarang ada di kamar ICU. Semalam, jantungnya kambuh dan sempat berhenti.”

“Hah?! Sempat berhenti? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?!” tanyaku tak sabar.

“Sekarang masih ada di ICU. Masih belum siuman dan dokter Helmi bilang dia harus bisa melewati masa kritisnya dulu sebelum siuman,” jelas suster itu.

“Kenapa mas Dam..........”

Belum sempat suster itu melanjutkan perkataannya, aku segera berlari ke ruang ICU. Ayo Selo, kamu pasti bisa bertahan. Aku cuma bisa melihatnya dari luar. Kasihan sekali wajah Selo kelihatan pucat, matanya yang indah itu masih terpejam. Rasa cemasku mengalahkan rasa sakitku. Sampai-sampai aku berjongkok karena menahan rasa sakitku. Rasanya hatiku seperti dibelah-belah. Sakit sekali.

“Damar? Sedang apa kamu di sini?” tanya dokter Helmi cemas ketika melihatku berjongkok menahan sakit.

“Terasa sakit lagi ya? Ayo, aku bantu bangun. Pasti hari ini kamu tidak meminum obatmu kan?” kata dokter Helmi sambil membantuku berdiri.

“Saya, mau bicara dok,” kataku tersengal sambil menahan sakit yang begitu luar biasa.

Dokter Helmi memapahku sampai ruang kerjanya.”Ada apa? Apa yang mau kamu bicarakan Damar?” tanyanya kemudian.

“Saya ingin mendonorkan jantung saya buat Selomitha,” jawabku.

“Apaa??!!!” kata dokter Helmi kaget dan terbangun dari kursi duduknya.

“Apa kamu sudah gila, Damar?” katanya.

“Kakek kamu menitipkan kamu untuk dirawat di sini dan bukannya untuk mendonorkan jantung!!” tambah dokter Helmi berang.

“Kalau bukan saya yang bisa membantunya, lalu siapa lagi dok?” kataku.

“Dengar Damar, waktu kamu tinggal dua bulan lagi, dua bulan!! Kamu harusnya bisa memanfaatkan waktu itu! Jangan main-main Damar. Sekarang bukan waktunya untuk bercanda!!”

“Tapi dia lebih membutuhkan dari pada saya dokter. Dia bertahan hidup untuk orang lain, untuk orang-orang yang dia cintai. Tapi saya, saya hanya bertahan hidup untuk diri saya sendiri dokter. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sedangkan dia? Terbayangkan bagi dokter kalau hal itu terjadi pada dokter?” jelasku.

“Saya mau kalau suatu saat nanti saya pergi, orang lain bisa terus mengenang saya. Bukan karena saya tercatat sebagai pasien di sini, tapi karena sesuatu yang berharga yang pernah saya berikan. Mungkin kalau dia selamat, dia akan punya umur lebih dari 50 tahun, dan saya hanya menyumbangkan umur saya yang hanya dua bulan ini. Itu bukan apa-apa dokter. Tolong, dokter bisa mengerti keputusan saya,” tambahku.

“Dokter nggak pernah tahu kan? Kalau selama ini dia selalu menangis tiap malam karena merasa kecewa tidak bisa membahagiakan orang-orang yang dia cintai. Malahan dia harus bisa menerima kalau dia akan pergi meninggalkan mereka. Setiap orang ingin memberikan yang terbaik bagi orang lain. Dan inilah hal yang terbaik buat saya dok. Saya mohon.”

Dokter Helmi hanya terdiam. Lalu dia duduk lemas di kursinya kembali.

“Katakan satu alasan kenapa kamu harus melakukan hal itu?” tanya dokter Helmi kemudian.

“Karena, saya ingin dia bisa terus hidup. Karena bagi saya, dia adalah bunga edelweis yang saya suka,” jawabku mantap.

Dokter Helmi mengendorkan dasinya, wajahnya lemas, dan dahinya berkeringat. Aku tahu kalau dokter Helmi sulit untuk mengambil keputusan.

“Baiklah,” jawabnya singkat.

Keceriaan terpancar dari wajah pucatku. Hanya seucap kata itu yang selama ini aku nantikan.

“Terima kasih dok. Boleh kan sekarang saya menemui Selo untuk yang terakhir kali?” tanyaku kemudian. Dokter Helmi mengangguk lemas sambil berkata,”Masuklah, itu yang dia inginkan.”

Aku bangkit dari kursi dan menuju pintu, tapi Dokter Helmi memanggilku kemudian,”Damar,” katanya. Aku menoleh kearahnya. Dokter Helmi menyambar tubuhku dan memelukku.

“Kamu sangat mirip ayahmu,” katanya. Aku hanya tersenyum simpul. Dan kemudian bergegas ke kamar Selo.

Aku duduk disamping ranjang Selo sambil menggenggam erat tangan Selo.

“Selo, aku janji setelah ini kamu nggak akan sedih lagi, karena kamu akan hidup. Kamu akan bisa kuliah di Leiden, kamu juga bisa jalan-jalan sesuka hati kamu, kamu juga nggak perlu menangis tiap malam,” bisikku ke telinga Selo.

“Selo, kamu harus bisa bertahan. Karena aku akan memberikan sebagian jiwaku untuk membantumu tetap hidup. Tapi kamu jangan sedih seandainya nanti kamu nggak bisa lagi bertemu denganku,” kataku lagi. Tanpa sadar, air mataku mengalir butir demi butir.

“Aku nggak pernah cerita sama kamu kalau aku ini sakit kanker hati, dan waktuku yang tersisa tinggal dua bulan. Dua bulanku itu adalah waktu yang sangat berarti, tapi aku rela memberikannya untukmu. Karena kamu lebih berarti dari pada dua bulanku itu,” kataku tersengal. Aku mengusap air mataku dengan punggung tangan.

“Karena itu, kamu harus bisa terus hidup. Ingatlah bunga edelweis. Kamu akan sekuat dan setegar itu. Selo, ini terakhir kalinya aku bertemu denganmu. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau selama ini aku sangat menyayangimu melebihi apapun,” kataku untuk yang terakhir kalinya.

Tiba-tiba air mata Selo bergulir dari matanya yang masih terus terpejam. Sepertinya dia tahu dan mendengar semua yang telah aku katakan. Selamat tinggal Selo........

Setelah tiga bulan berlalu, akhirnya Selomitha kembali lagi ketempat itu. Tempat dimana untuk yang pertama kalinya kami bertemu. Tapi sekarang dia tidak akan pernah menemukanku lagi. Selo berjalan sedih di koridor yang dulu sering kami lewati setelah jalan-jalan sore. Dia bertemu dengan Dokter Helmi.

“Em....tunggu dokter!” seru Selo. Dokter Helmi berhenti dan segera mengenali bahwa itu adalah Selomitha.

Kamu Selo bukan?” tanya dokter Helmi.

“Iya. Dokter saya mau tahu, sebenarnya siapa yang sudah mendonorkan jantung buat saya? Lalu apa dokter tahu dimana Damar sekarang dok?”

“Sebenarnya saya nggak mau mengatakan ini karena Damar sudah melarangnya. Tapi demi kamu, saya akan katakan,” kata dokter.

“Sebenarnya ada apa dokter?” tanya Selo bingung.

“Orang yang telah berbaik hati mendonorkan jantungnya untuk kamu dan telah mengorbankan sebagian hidupnya adalah.......”

“Siapa dokter? Jangan membuat saya penasaran,” kata Selo tak sabar.

“Dialah orang yang selama ini selalu menghibur kamu, orang yang memberikan kamu bunga edelweis ini,” ucap dokter Helmi.

Bagaikan tersambar petir. Selo begitu terkejut. Rasanya seluruh tubuhnya lemas seketika. Tidak bisa dipercaya, jantung yang berdenyut ini, jantung yang telah memberikan kehidupan baru ini adalah jantung Damar?! Selo terduduk lemas di lantai. Menangis kemudian. Dokter Helmi menyerahkan bunga edelweis itu kepada Selo.

“Ini titipan dari Damar. Dia ingin kamu tidak menangis lagi. Damar menyerahkan sebagian dari harta warisannya untuk kebutuhan rumah sakit ini, lalu sebagian lagi untuk panti asuhan Cinta Kami, dan dia juga memberikan sebagian lagi untuk kamu,” kata dokter Helmi sambil menyerahkan bunga itu.

“Oh, iya ada satu lagi yang tertinggal. Dia juga memberikan kamu ini,” kata dokter Helmi sambil memberikan selebaran kertas.

Ternyata selebaran kertas itu adalah beasiswa untuk masuk ke sekolah hukum Leiden, London. Selo semakin sedih, Damar telah memberikannya yang terbaik, tapi bagaimana Selo membalasnya?

Seribu ucapan terima kasih tidak akan cukup untuk menggantikan semua kebaikan kamu, ucap Selo dalam hati. Kebaikan hati kamu menyimbulkan bunga edelweis yang putih, terima kasih Damar..............katanya.

...SELESAI...